DETAK MUTIARA HITAM
Ismi Dewi Hafidhoh X IPA

By Redaktur 23 Jan 2019, 09:32:16 WIB Tulisan Siswa

DETAK MUTIARA HITAM

(Ismi Dewi Hafidhoh X IPA)

Namaku Rani Wijaya, putri kedua dari Rian Wijaya dan Rita Wijaya tapi ini bukan kisahku. Ini adalah kisah kakakku yang begitu inspiratif. Aku mempunyai seorang kakak perempuan yang manis, cerdas, dan sangat sabar walaupun kakinya kecil sebelah sehingga membuatnya pincang. Betapa malangnya ia, orang tuaku mengasingkannya ke rumah nenek yang berada di desa sejak bayi. Keluarga Wijaya memang dikenal sebagai keluarga terpandang, kolega dan rekan bisnis papa saja orang penting dari berbagai negara maju. Apalagi perusahaan papa termasuk salah satu perusahaan sukses taraf internasional. Hal ini tentu saja membuat mereka malu mempunyai putri yang tidak sempurna.

Baca Lainnya :

Kak Salma adalah siswi berprestasi. Ia sering menjadi juara umum olimpiade MIPA dari tingkat kabupaten hingga nasional. Mungkin secara fisik ia kurang sempurna namun prestasi dan kebaikan hatinya membuatnya menjadi sosok yang sempurna.

Tapi kemudian Mama dan papa terpaksa menerima kakak walau sebagai pembantu karena nenek sudah meninggal. Usia yang renta tentu tidak bisa diandalkan untuk melakukan pekerjaan rumah. Terlebih lagi untuk mengambil air yang masih dengan menimba dari sumur. Tentu kakakku turut berperan setelah sepulang sekolah ia langsung mengerjakan pekerjaan rumah yang tersisa. Lama waktu berlalu raga nenek mulai sakit-sakitan hingga akhirnya beliau tutup usia. Setelah dua hari mama dan papa sibuk mengurusi kepindahan kakak. Hingga hari ketiga sepeninggal nenek, kakak menginjakkan kaki di rumah besar Wijaya. Baru hari keempatnya  ia memulai sekolah tingkat atas di kota ini. Itu pun sekolah swasta berbanding terbalik denganku yang mengenyam sekolah taraf internasional. Lagi-lagi semua terjadi karena pilih kasih.

“Salma kamu nggak usah ngaku anak kami, kalau ada orang tanya bilang aja kamu anak temen nyonya Wijaya dari kampung dan numpang di rumah ini karena emak dan bapakmu meninggal, atas kebaikan kami kamu bisa tinggal disini. Camkan itu !”, kata pedas mama ketika kakak memberitahu hari pengambilan raport. Aku tentu saja hanya bisa diam apalagi aku hanya berusia 12 tahun. Hanya dengan ancaman mencabut kartu kredit saja aku bisa diam seribu bahasa padahal hatiku ingin mencaci mereka.

“Ya Allah aku hanya ingin mereka mau mengakuiku sebagai anak dan mereka mau mengambil raportku. Untuk sekali ini saja. Amin…”, kalimat itu tak sengaja kubaca dari diary kakak yang terbuka. Mungkin baru saja ditulis.

Hari demi hari berlalu kak Salma menjalani tugasnya seperti pembantu rumah tangga, tidur di kamar kecil, makan dengan lauk tahu tempe, baju kusam dan sangat memprihatinkan sebagai salah seorang anggota keluarga Wijaya yang bergelimang harta.

“Ma, kita makannya enak terus kenapa kak Salma kok gak makan bareng kita?’’, kata nenek kak Salma kakak kandung aku”, tanyaku tentang ketidakadilan antara aku dan kak Salma yang satu orang tua.

“Rani sayang, jangan sesekali kamu akui Salma sebagai kakak kamu pada siapapun ya sayang. Kalau gak,,, papa akan suruh dia angkat kaki dari rumah ini!!.”, kata Papa dengan nada mengancam.

“Tapi Pa dia kan kakak kandung aku, kasihan Pa kalau dia dicuekkin sedangkan aku dimanja berlebihan. Lebih baik aku gak makan aja kalau gini.”, kataku membela kakak.

“Rani.. apa yang Papa kamu katakan itu benar sayang, kalau kamu gak mau makan, Salma gak akan dapat jatah makan.”, timpal Mama. Jadi, mau gak mau ya aku harus nurut daripada kakak aku yang kena imbas.

Hampir satu tahun kak Salma tinggal di rumah ini. Hari itu, 12 juni usiaku genap 13 tahun. Tanggal lahir yang sama dengan kak Salma hanya terpaut tiga tahun lebih tua dariku. Harusnya ulang tahun kami dirayakan bersama. Namun hari itu justru kakak disuruh keluar dan pulang pukul sembilan malam agar tamu pesta tak ada yang tahu. Kakak berpamitan dengan menahan tangis seakan aku tak tahu apa yang terjadi di antara ia dan Mama.

Alunan musik dimainkan keras-keras. Papa bahkan sengaja menyewa orkestra ternama untuk mengiringi pesta itu. Dentuman drum yang menggebu membuat jantungku ikut berdetak cepat. Hingga tibalah saat untuk meniup lilin. Setelah meniup lilin aku langsung ambruk dan tak sadarkan diri apalagi aku belum sempat meminum obat penguat jantung jadi mudah saja aku ambruk.

Empat minggu sudah infus menjadi temanku setelah seminggu lebih aku terbaring koma dan tiga minggu masa pemulihan. Hingga akhirnya dokter membolehkanku pulang. Tapi tak kujumpai kakak yang selama ini aku cintai. Mama sepertinya tahu apa yang aku cari. Dia hanya memberikanku sebuah kartu ucapan berwarna merah muda yang katanya ia temukan di bawah kursi mobil. Kartu itu hanya berisi ucapan ulang tahun penuh kasih. Mama kemudian mengajakku ke sebuah makam. Aku tak pernah menyangka bahkan memikirkannya pun aku tak pernah. Nama kakakku akan tercetak di batu nisan berwarna hitam. Air mataku tak lagi kubendung bahkan jika fisikku kuat atau aku tak pernah merasakan operasi dan tubuhku masih lemah rasanya ingin ku jatuhkan tubuhku di atas tanah pemakaman kakakku.

Malam itu kakak pulang lebih awal karena ingin memberikan aku sebuah kejutan. Melihat ekspresi pak Duki yang muram dan sedih ia bertanya pada pak Duki, supir keluarga kami tentang apa yang terjadi. Pak Duki menjelaskan bahwa jantungku kumat dan dibawa ke rumah sakit terdekat. Dengan reflek kakak langsung keluar mobil padahal mobil itu masih berjalan di jalan raya yang ramai. Tubuh kakak langsung saja tertabrak truk yang berjalan dengan kencang. Ia segera dilarikan ke rumah sakit di mana aku di rawat. Kondisinya parah sekali.

Kakak sendiri sadar bahwa ia tidak akan bertahan lama. Ia mendonorkan jantungnya untukku dan meminta agar dokter merahasiakan pendonor jantung itu.  Mama dan Papa tentu saja tak terima ketika dokter bilang ia tidak bisa memberitahu identitas pendonor karena keluarga Wijayalah yang menjadi donatur utama rumah sakit ternama itu. Dengan mengandalkan kekuasaan yang Papa punya, dia berhasil mendapat identitas sang pendonor.

Pendonor itu adalah kakak. Papa dan mama langsung menyesal. Selama ini ia menyia-nyiakan kak Salma. Tapi waktu tak bisa ditebus kembali. Kak Salma sudah menjadi tanah, yang bisa Papa dan Mama lakukan hanyalah mewujudkan mimpi kakak yang tertulis di buku diary dan merubah sikap dan sifat mereka yang sombong. Kini mereka menjadi Papa dan Mama yang menyayangiku dengan kak Salma walaupun aku dan kak Salma sudah menjadi satu tubuh. Mereka sadar betul bahwa manusia tak ada yang sempurna. Mutiara pun tidak hanya berwarna putih yang mahal. Tapi justru mutiara hitamlah yang paling mahal dan susah didapat. Kini jantung kak Salma yang sudah seperti mutiara hitam itu berdetak kembali dalam tubuhku. Tiap detakannya mampu membawa inspirasi bagi kehidupanku.




Write a Facebook Comment

Tuliskan Komentar anda dari account Facebook

View all comments

Write a comment